Breaking News

Kamis, 31 Maret 2016

`Hidup Selalu Bukan Soal Cinta` di Papua Berkisah dan mempublikasi




Evaline Maria Tibul adalah gadis berdarah Papua yang lahir dan besar di Jakarta. Walau hidup sederhana dengan upah tak seberapa sebagai petugas kasir sebuah minimarket, Eva amat menikmati hidup di Jakarta. Gaya hidup dan cara bicara Eva pun tak beda dengan anak-anak muda ibukota lainnya. Ngobrol dengan bahasa gaul, men-smoothing rambut kribonya, dan menjadi pendukung setia Persija adalah sebagian cara Eva untuk menjadi bagian dari kota metropolitan itu.

Eva bergabung dengan Jakmania bukan karena dia gila sepakbola. Bagi Eva, menjadi anggota Jakmania adalah identitasnya sebagai anak Jakarta.

Tak heran, Eva menolak habis-habisan ketika Saulus Tibul, ayahnya, mengajak pulang ke Wamena, Papua. Alasannya, sepeninggal Lisa, ibu Eva yang belum lama meninggal karena penyakit demam berdarah, Saulus merasa kesepian dan rindu kampung halamannya. Eva tidak bisa membayangkan harus meninggalkan sahabat, pacar, dan pekerjaannya (ia baru saja dinobatkan sebagai Employee of The Month dan akan dipromosikan!). Lagipula, ia akan sangat merindukan hiruk-pikuknya Jakarta. Ya, meski berdarah Papua, bagi Eva Jakarta adalah tanah kelahirannya.

Tapi, tak mampu melawan kemauan keras Saulus, Eva terpaksa bersedia ikut pulang ke Papua. Saulus membawa Eva naik taksi miliknya ke Surabaya, lalu menitipkan kendaraan itu pada puteranya di sana. Dari pelabuhan Tanjung Perak, mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan kapal laut menuju pelabuhan Jayapura.

Sepanjang perjalanan Jakarta-Jayapura, ayah dan anak ini berhadapan dengan bermacam-macam orang juga peristiwa, yang pasti jadi pelajaran berharga. Mulai dari berjumpa orang baik, orang jahat, bahkan orang jahat berkedok baik. Mulai dari ditipu orang sampai semua uang simpanan ludes, berkali-kali bertengkar lalu baikan ala ayah-anak, ketinggalan kapal di pelabuhan Nabire, sampai tersesat di kota tak dikenal.

Akankah semua rintangan itu mengokohkan lagi ikatan kasih sayang antara Saulus dan Eva yang sempat renggang, atau malah sebaliknya? Mungkinkah Saulus membatalkan niatnya menetap di Papua setelah tahu puterinya diam-diam punya rencana sendiri untuk kembali ke Jakarta?

Entah mengapa, saya merasa sedikit kesulitan menemukan novel bagus bertema keluarga di antara sekian banyak novel asmara yang membanjiri toko buku. Makanya, saya segera tertarik saat melihat sinopsis Papua Berkisah, di mana konflik orangtua-anak antara Saulus dan Eva tampak 'menjanjikan' keseruan serta keharuan.

Membaca Papua Berkisah, kita bisa melihat gap antara dua generasi, yang memang sering terjadi dalam kehidupan nyata. Saulus, yang menghabiskan masa remajanya di tanah Papua, prihatin betapa Eva sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui akar budayanya yang kaya; membuat masakan Papua tak bisa, bahasa Papua pun tak paham. Sebaliknya, puterinya itu malah larut dalam budaya kota metropolitan masa kini, yang dianggapnya budaya instan dan kurang menghargai proses.

Anak muda zaman sekarang terlalu cepat menginginkan hubungan mereka berhasil, tanpa mau berusaha keras untuk memperbaiki bila salah satu pihak atau malah keduanya, melakukan kesalahan.

Orang zaman sekarang mudah sekali membuang barang. Rusak sedikit saja dibuang untuk kemudian membeli yang baru. Sementara, zaman Saulus muda dulu, orang terbiasa memperbaiki barang yang rusak. Saulus yakin sikap ini ada pengaruhnya terhadap cara orang zaman sekarang menyikapi hubungan asmara mereka.

Omong-omong soal Papua, satu hal yang pertama kali bikin saya tertarik sama buku ini adalah judulnya, yang menyebut salah satu propinsi di Indonesia bagian timur itu. Selama ini sudah banyak sekali novel yang "Jakarta-sentris", atau paling-paling bergeser sedikit ber-setting Bandung, Yogya atau Solo.

Menurut saya, kita butuh buku-buku dengan latar budaya lain yang berbeda dan menyegarkan. Maksud saya, halooo? Indonesia punya 34 propinsi lho. Tiap propinsi pastinya punya budaya unik yang belum tentu semua orang tahu. Entah saya yang kurang update sama novel-novel berlatar budaya atau memang masih belum banyak pengarang yang menggunakan latar budaya daerahnya dalam menulis.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts